Minggu, 05 Februari 2017

WASPADAI Perangkap Hutang RRC


[PORTAL-ISLAM]  Dengan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa cepat selama puluhan tahun belakangan, Republik Rakyat Cina (RRC) berhasil menumpuk devisa dalam jumlah sangat besar. Pada akhir 2016, cadangan valuta asing negara itu mencapai 3 triliun dollar (tiga ribu miliar dollar). Sebagai perbandingan, cadangan devisa Indonesia berada pada angka 116 (seratus enam belas) miliar dollar. Cadangan devisa Amerika Serikat, jauh di bawah itu; lebih kurang sama dengan cadangan devisa Indonesia.

Pada tingkat 3 triliun dollar, sebetulnya jumlah cadangan devisa RRC itu merupakan yang terendah sejak 2011, tetapi tetap sebagai jumlah cadangan devisa tertinggi dibanding negara mana pun di dunia. Jepang punya 1.24 triliun dollar.

Nah, apa perlunya angka-angka ini saya tuliskan?

Untuk memberikan gambaran bahwa RRC sedang banyak duit. Selanjutnya untuk memberikan perspektif bahwa tumpukan duit yang sangat besar itulah yang membuat Beijing merambah ke segala penjuru untuk menawarkan pinjaman dan investasi termasuk ke Indonesia. Mereka pergi ke negara-negara lemah ekonomi di Asia, Afrika dan Amerika Latin, Eropa Timur, bahkan masuk juga ke negara-negara kaya.

Indonesia mengundang RRC untuk tanam modal di berbagai proyek raksasa, terutama di sektor energi dan infrastruktur, selain juga memberikan kesempatan yang sangat luas untuk berinvestasi membuat macam-macam pabrik. Tentu tidak ada yang salah dengan itu. Karena kita memang selalu memerlukan pertumbuhan ekonomi dan perdagangan. Kita sedang perlu memperbanyak lapangan kerja.

Tetapi kita wajib mengingatkan kepada pemerintah agar waspada terhadap "misi tak tertulis" RRC dalam memberikan pinjaman dan melakukan investasi, baik itu melalui jalur G to G maupun B to B. Pemerintah harus awas terhadap perangkap hutang RRC, terhadap modus yang mereka terapkan.

Profesor Brahma Chellaney, seorang guru besar Studi Strategis di Centre for Policy Research and Fellow yang berpusat di New Delhi menyimpulkan bahwa RRC memberikan pinjaman besar kepada negara-negara yang berposisi strategis secara geopolitik, bukan bertujuan untuk mengangkat perekonomian kawasan itu melainkan untuk mengincar sumberdaya alam. Selain itu, juga bertujuan untuk menjual barang-barang murah(an) produksi RRC.

Chellaney mengatakan lagi, dalam banyak kasus RRC mengirimkan tenaga kerja mereka untuk mengerjakan proyek-proyek yang dimodalinya.

"Memperkecil penciptaan lapangan kerja bagi penduduk lokal," kata Chellaney.

Sri Lanka adalah salah satu korban jebakan hutang RRC. Mereka memodali dan mengerjakan bandara internasional Mattala Rajapksa di dekat kota kecil, Hambantota. Bandara ini kosong melompong karena salah perencanaan. Kemudian ada pelabuhan laut besar tak jauh dari situ yang dibuat dengan dana pinjaman dari RRC sebesar 1.4 miliar dollar. Pelabuhan ini juga tidak berfungsi. Tetapi Sri Lanka harus bayar bunga sebesar 17 juta dollar per tahun untuk pinjaman sebesar 4.8 miliar dollar, pinjaman yang digunakan pula untuk pembanguna prasarana dan sarana pendukung.

RRC santai-santai saja melihat proyek besar yang gagal ini. Mereka rupanya mengerahkan dua kapal perang ke pelabuhan laut yang kosong ini dengan alasan untuk menjaga keamanannya. Sementara itu, dua kapal selam tempur RRC dibolehkan kelua-masuk sejumlah pelabuhan di Sri Lanka. Ternyata, skenario yang telah disiapkan RRC adalah bahwa Sri Lanka akan dijadikannya sebagai "pangkalan" untuk mengamankan "Jalur Sutera" gaya baru. Pemerintah Kolombo tidak bisa menolak karena hutang kepada RRC lumayan besar. Beginilah Cina menebar perangkap hutang. Dengan kemampuan yang terbatas untuk membayar pinjaman, Sri Lanka sekarang menjadi "anak buah" RRC.

Sri Lanka bukan korban satu-satunya. Kamboja, Laos, Myanmar dan Thailand pun sekarang "dikendalikan" oleh RRC lewat misi perangkap hutang. Keempat negara ini didikte oleh Beijing untuk menggagalkan resolusi ASEAN yang menentang ambisi teritoral RRC di Laut Cina Selatan.

RRC sangat licik. Kalau negara-negara yang berhutang ingin meminta rescheduling (penjadwalan ulang) hutang mereka, boleh-boleh saja. Tetapi ada syaratnya: mereka harus kasih kontrak-kontrak baru kepada Cina. Contoh, akhir 2016 RRC menghapuskan hutang Kamboja sebesar 90 juta dollar. Sebagai imbalannya Cina mendapat proyek-proyek besar yang baru dengan modal Cina, dengan jeratan hutang baru, dan Cina meraup keuntungan yang lebih besar lagi.

Akankah Indonesia masuk perangkap hutang RRC? Kalau Presiden Joko Widodo "terlalu dekat" dengan Beijing dan mempersilakan Cina membangun proyek-proyek besar dengan syarat yang mereka tentukan, bisa jadi kita juga terjerat. Di Nepal, RRC memaksa kepemilikan 75% atas proyek-proyek yang mereka modali. Sejumlah negara Afrika juga ikut terkena perangkap hutang yang membuat mereka tergiring secara ekonomi dan terbelenggu secara politis.

Terus, apakah Indonesia sebegitu perlunya ambil hutangan dari Cina? Saya katakan, tidak perlu. Sebab, masih ada banyak negara lain yang bersedia memberikan pinjaman atau investasi untuk proyek-proyek besar. Memang lebih mahal sedikit, tetapi mereka tidak membawa tenaga kerja sendiri sampai ke tingkat buruh kasar sekalipun seperti yang dilakukan RRC.

Sebenarnya, sekarang pun banyak proyek atau industri Cina di Indonesia yang mempekerjakan buruh dari RRC, bahkan banyak yang ilegal. Coba saja Anda ikuti berita-berita tentang penggerebekan pekerja ilegal RRC di berbagai lokasi di seluruh Indonesia. Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, awal tahun lalu mengeluhkan bahwa investasi RRC membawa sebanyak mungkin tenaga kerja mereka. Ada pabrik baja yang 35% pekerjanya orang RRC.

Kita berharap, sebelum terlambat dan sebelum Indonesia semakin jauh perangkap hutang RRC dan kemudian dikendalikan oleh Beijing, segeralah cari alternatif investasi asing; batalkan syarat yang ditetapkan oleh RRC yang mengharuskan Indonesia menerima tenaga kerja dari mereka.

Kita tidak tahu, bisa saja nanti RRC memberikan pinjaman dan investasi dengan syarat PKI harus dibolehkan hidup lagi di Indonesia; para pembina PKI harus didatangkan dari RRC; dan MUI harus dibubarkan, dlsb. Sesuatu yang rasanya tidak mungkin, namun bukan mustahil.

Wallahu a'lam.

Penulis: Asyari Usman
Editor: Tim Portal Islam
Editor: Tip Portal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar