Minggu, 05 Februari 2017

Ketika Penduduk Kristen Syam Lebih Memilih Khalifah Islam Dibanding Kaisar Romawi


Michael the Elder, Patriarch Jacobus dari Antioch, menulis pada akhir abad kesebelas, bahwa dia dapat menyetujui sikap yang diambil oleh kawan-kawan seagamanya (Orang-orang Arab kristen wilayah Syam, Syria, Yordan, dll) dan menyaksikan sendiri kekuasaan Tuhan berada dipihak penakluk-penakluk Arab, malah setelah gereja-gereja Timur berada di bawah kekuasaan kaum Muslimin selama lima abad. Setelah membeberkan panjang lebar tentang cara-cara kekerasan Heraclius, dia menulis :

“Inilah sebabnya Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Kuasa menukar nasib suatu kerajaan yang bengis dan menyerahkannya kepada ummat lain sesuai dengan kehendaknya, dan mengangkat derajat orang-orang yang dihinakan –karena telah menyaksikan kejahatan orang-orang Romawi, yang dengan kekuasaannya secara kasar merampok gereja-gereja dan biara-biara kita serta menghukum kita tanpa ampun– Tuhan membangkitkan putra-putra Ismail dari daerah selatan untuk membebaskan kita dari tangan-tangan kotor Roma. Dan andaikata pun benar, bahwa kita kehilangan sesuatu, karena Katholik mengambil alih beberapa gereja dari tangan kita serta menyerahkannya ke tangan pendukung-pendukung Konsili Chalsedonia, seperti gereja besar Emessa dan Harram, dan ketika kota-kota tersebut jatuh ke tangan Arab, gereja-gereja tadi mereka serahkan kembali kepada orang-orang Katholik dan tidak kepada kita, namun kerugian tersebut tidaklah seberapa bila dibandingkan dengan kekejaman orang-orang Romawi, kejahatan dan angkara murka mereka terhadap kita, sedang kita kini (dibawah kekuasaan Islam) hidup dengan damai.”

Ketika pasukan Muslim di bawah pimpinan Abu Ubaidah mencapai lembah Jordan, penduduk Kristen setempat menulis surat kepadanya berbunyi:

“Saudara-saudara kami kaum muslimin, kami lebih bersimpati kepada saudara daripada orang-orang Romawi, meskipun mereka seagama dengan kami, karena saudara-saudara lebih setia kepada janji, lebih bersikap belas kasih kepada kami dengan menjauhkan tindakan-tindakan tidak adil serta pemerintah Islam lebih baik daripada pemerintah Byzantium, karena mereka telah merampok harta dan rumah-rumah kami.”

Penduduk Emessa menutup gerbang kota terhadap tentara Heraclius serta memberitahukan kepada orang-orang Muslim bahwa mereka lebih suka kepada pemerintahan dan sikap adil kaum muslimin dari pada tekanan dan sikap tidak adil orang-orang Yunani.

Demikianlah gambaran jiwa rakyat di Syria selama masa perang (tahun 633-639 Masehi). Dimana tentara Arab (kaum muslimin) lambat laun dapat mengusir tentara Romawi dari propinsi itu. Dan tatkala Damaskus pada tahun 637 mempelopori menciptakan syarat-syarat perdamaian dengan pihak Arab, yang berarti terjaminnya keamanan dan diperolehnya kondisi-kondisi yang menguntungkan, maka hal itu segera diikuti oleh kota-kota lainnya. Emessa, Arethusa, Hieropolis mengadakan perjanjian yang sama dengan pihak Arab, kepada siapapun mereka harus membayar pajak. Bahkan Patriarch Jerusalem menyerahkan kota itu dengan syarat-syarat yang sama. Kecemasan terhadap timbulnya kekacauan agama akibat tindakan Kaisar Romawi yang belot itu mendorong mereka untuk lebih mendekati sikap toleransi kaum Muslimin, dan tatkala teror pertama dari tentara pendudukan Byzantium membenarkan kecemasan diatas, maka kecenderungan untuk menerima penakluk-penakluk Arab makin mendalam dan nyata.

Rakyat propinsi kekaisaran Byzantium yang direbut tentara muslim dapat menikmati alam toleransi seperti paham Monophysis dan Nestoria, yang selama berabad-abad tertekan. Mereka diberi kebebasan tanpa gangguan untuk menjalankan keyakinan mereka, kecuali sedikit pembatasan, yaitu mereka jangan terlalu menonjol-nonjolkan symbol agama, untuk mencegah bentrokan antara penganut kedua agama atau timbulnya fanatisme yang dapat melukai perasaan kaum muslimin. Luasnya toleransi ini -demikian menarik perhatian dalam sejarah abad ke ketujuh– dapat dilihat dari syarat-syarat yang diberikan kepada kota-kota yang ditaklukkan (oleh pasukan Islam), dimana perlindungan terhadap jiwa dan harta penduduk dan keleluasaan menjalankan ajaran-ajaran agama dijamin sebagai imbalan ketundukan dan pembayaran jizyah.

Perincian yang tepat dari persetujuan ini tidaklah mudah dipisahkan mana yang asli dari yang tambahan kemudian, tetapi terlepas dari kenyataan apakah ia authentik atau tidak, sekurang-kurangnya hal itu telah membuktikan corak tradisi historis, sebagaimana yang diterima oleh para ahli sejarah muslim pada abad kedua hijrah, - tradisi yang tentunya sulit dibangun seandainya orang menemukan bukti-bukti yang menentangnya. Sebagai contoh, dapat dikutipkan disini syarat-syarat persetujuan sebagaimana ditetapkan pada waktu penyerahan kota Jerusalem kepada khalifah Umar bin Khattab:

"Dengan nama Allah, Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih. Inilah persetujuaan keamanan, yang oleh Umar, hamba Allah, Amirul Mukminin, diberikan kepada penduduk Elia. Dia memberikan kepada semua, yang sakit atau yang sehat, jaminan keamanan bagi jiwa, milik, gereja, salib, dan semua hal yang berhubungan dengan agama mereka. Gereja tidak akan dirubah menjadi tempat kediaman, tidak akan dirusak, tidak juga mereka atau perlengkapan mereka akan dikurangi dengan cara apapun, begitu juga salib-salib atau harta milik mereka tidak akan diganggu, tidak akan ada paksaan bagi mereka mengenai soal-soal yang berhubungan dengan keyakinan mereka, dan tidak seorangpun diantara mereka akan dianiaya."

Sumbangan wajib mereka ditetapkan lima dinar bagi mereka yang kaya, empat dinar bagi yang menengah dan tiga dinar bagi rakyat biasa. Bersama sama dengan Patriarch, Khalifah Umar mengunjungi tempat-tempat suci dan diriwayatkan ketika mereka berada dalam gereja Resurection, sedang bertepatan dengan waktu sholat, Patriarch mempersilahkan Khalifah untuk menunaikan sholatnya ditempat itu tetapi oleh Umar ditolak dengan lemah lembut, seraya mengatakan apabila beliau melakukan hal tersebut, maka dikhawatirkan kelak umatnya akan menganggap gereja itu sebagai tempat sholat bagi kaum muslimin.

Sikap dan tindakan harmonis seperti itu juga diperlihatkan Umar terhadap penduduk yang beragama lain dalam urusan-urusan lainnya, seperti dituliskan dalam sejarah bahwa Umar pernah memerintahkan agar menyumbang uang dan makanan dari baitul mal untuk para penderita sakit lepra dari orang-orang Kristen. Bahkan dalam wasiatnya yang terakhir dimana beliau menunjuk penggantinya sebagai Khalifah, beliau menyinggung masalah Dzimmi (penduduk non-Islam yang tunduk) ini sebagai berikut: “Amatlah kuharapkan agar dia (Khalifah Baru) memperhatikan urusan kaum dzimmi ini, agar mereka itu tetap menikmati perlindungan Tuhan dan Rasulullah, pula agar dia menepati perjanjian dengan mereka, dan janganlah memberati mereka dengan beban-beban yang tak dapat mereka pikul."

___
Postingan ini dikutip Redaksi Piyungan Online dari buku 'The Preaching of Islam' Thomas W. Arnold, terjemahan oleh Drs. A. Nawawi Rambe diterbitkan WIDJAYA cetakan kedua 1981, halaman 49-52.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar