Pertengahan bulan Muharam 656 H, pasukan Tartar yang dipimpin Hulagu Khan dengan jenderal perang Kitbugha Noen sampai di benteng Baghdad. Mereka mulai menggali parit dan membangun pangkalan militer untuk bersiap menyerang Baghdad. Majaniq pelempar batu, kendaran-kendaraan perang dan peluncur anak panah siap dioperasikan, menjadikan Baghdad sebagai sasaran empuk baik siang maupun malam.
Adalah Ibn Al-Alqami seorang syiah, wazir khalifah Al-Musta'shim melakukan pengkhianatan dengan bergabung dengan pasukan Tartar dan berkata manis di depan Khalifah, merayunya untuk keluar menuju Hulagu Khan.
Perjanjian damai disepakati, Khalifah memerintahkan seluruh tentara dan warga Baghdad untuk meletakkan senjata. Sementara Khalifah digiring tentara Tartar menuju Istana. Di sana, seluruh barang berharga dirampas pasukan Tartar dan orang-orang yang berkhianat. Khalifah dibunuh dengan cara dimasukkan ke dalam tas besar lalu ditendang oleh sejumlah tentara. Menandakan berakhirnya kekuasaan dinasti Abbasiah.
Pasukan Tartar mulai memasuki pemukiman penduduk dan menebarkan bencana yang besar bagi umat Islam. Mereka membunuh setiap orang yang mereka jumpai, hingga bayi-bayi yang masih berada dalam kandungan. Mereka menjarah semua harta, merobohkan rumah-rumah dan membakar buku-buku, hingga air sungai Tigris berwarna hitam penuh abu bercampur darah.
Bulan Shafar 658 H, pasukan Tartar tiba di Aleppo. Di sana, apa yang mereka lakukan tidak jauh berbeda dengan di Baghdad. Selanjutnya mereka meluluhlantakkan kota Damaskus. Saat itu, kaum Nasrani Damaskus mulai menampakkan kesombongannya. Mereka mulai mengangkat salib-salib mereka, menuangkan khamar di masjid-masjid dan menyiramkannya kepada orang-orang yang sedang shalat.
Ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi mengapa Hulagu sangat bernafsu menaklukkan wilayah muslim dan kejam setiap kali dia berhasil menguasainya. Hal itu disebabkan Ibu Hulagu, istri dan sahabat dekatnya, Kitbuqa termasuk kristen fanatik yang memendam kebencian mendalam terhadap orang muslim. Juga para penasehatnya banyak yang berasal dari Persia yang memang berharap dapat membalas dendam atas kekalahan mereka satu abad sebelumnya ketika Persia ditaklukan oleh pasukan muslim pada masa Khalifah Umar bin Khattab.
Perang Ain Jalut
Sebelum menyerang Mesir, Hulagu Khan mengirim surat kepada penguasa Mesir, Muzhaffar Saifuddin "Quthuz" bin Abdillah Al-Muiz yang berasal dari keturunan para Sultan Al-Khawarizmi di Asia Tengah, yang sebelumnya telah dibumi hanguskan oleh Kaisar Jengis Khan, kakek Hulagu Khan. Dalam suratnya Hulagu Khan meminta Saifuddin Quthuz untuk menyerah. Ketakutanpun menghantui warga mesir, hingga akhirnya Saifuddin Quthuz menyerukan semangat jihad, atas nasehat Al-Imam Izzuddin bin Abdis Salam.
Ramadhan 658 H, bersama 40.000 tentara, Saifuddin Quthuz bergerak menuju Shalihiyah, lalu mengobarkan semangat jihad di sana, kemudian mengangkat Ruknuddin Baibars untuk memimpin Pasukan menuju Gaza. Sementara itu Hulagu Khan memerintahkan Kitbugha Noen panglima Tartar yang kristen, menggantikan kedudukannya, sedangkan dia sendiri pulang ke Cina untuk ikut serta dalam pemilihan Khan penguasa Mongol, setelah kematian penguasa sebelumnya, yaitu Mongke Khan, kakak Hulagu Khan.
Di Ain Jalut, dataran luas yang dikelilingi perbukitan di bagian barat, Saifuddin Quthuz menyusun strategi perang menghadapai tentara Tartar. Tak disangka datang seorang utusan dari Sharimuddin Baibars, seorang pemimpin Syam yang bekerja sama dengan Hulaghu Khan dalam menaklukkan negara Islam. Dia menyampaikan pesan bahwa Sharimuddin Baibars akan membantu pasukan Muslimin dari dalam barisan pasukan Tartar Mongol dan membawa tiga informasi penting lainnya. Dia menginformasikan bahwa pasukan Tartar Mongol tidak sebanyak pasukan yang telah menaklukkan negara Islam sebelumnya, dan sayap kanan pasukan Tartar Mongol lebih kuat, serta berita bahwa Al-Asyraf al-Ayyuby menarik dirinya untuk memerangi pasukan Muslimin dan akan menghancurkan pasukan Tartar Mongol dari dalam barisan mereka. Mendengar berita tersebut, Saifuddin Quthuz dan para pemimpin militer lainnya antara membenarkan dan meragukan informasi tersebut. Dengan segera mereka mempersiapkan berbagai strategi.
Malam harinya adalah malam ke 25 Ramadhan 658 H, Saifuddin Quthuz dan seluruh pasukan muslimin beribadah dan bermunajat kepada Allah dengan penuh khusyuk agar diberikan kemenangan pada esok harinya.
Setelah menunaikan shalat subuh dengan penuh khusyuk. Matahari di ufuk timur telah menampakkan wajahnya, dari jauh pasukan muslimin melihat pasukan Tartar Mongol datang dalam jumlah besar. Saifuddin Quthuz mengisyaratkan kepada pasukan pertama yang dipimpin Ruknuddin Baibas untuk turun ke medan terbuka yang secara perlahan dan pasukan lainnya bersembunyi di perbukitan.
Melihat kehadiran pasukan muslimin menuruni bukit, Katbugha Noen panglima pasukan Tartar Mongol terkejut dan terkesima melihat kerapian mereka. Tidak menyangka masih ada kaum muslimin yang masih mempertahankan dirinya dan maju ke medan peperangan dengan gagah berani. Ia terbiasa menyaksikan ketakutan kaum muslimin dengan kedatangan pasukan Tartar Mongol di mana saja. Melihat sedikitnya pasukan muslimin, Katbugha Noen bermaksud menghancurkan kekuatan pasukan Islam ini dengan sekali pukulan. Dengan satu perintah ia mengarahkan seluruh pasukannya tanpa meninggalkan pasukan cadangan dengan maksud satu kali serangan saja pasukan Islam luluh lantak.
Pada saat penting ini tampil berperan pasukan beduk dan terompet memberi isyarat dengan arahan Saifuddin Quthuz. Setiap pukulan dan tiupan terompet memiliki makna. Saifuddin Quthuz memberi isyarat maju kepada pasukannya. Dengan serentak, di bawah komando Ruknuddin Baibars pasukan Islam mulai menyerang. Akhirnya kedua pasukan bertemu, dan perang pun tak terelakkan lagi. Senjata saling beradu dan korban berjatuhan. Pemandangan berubah seketika. Tatkala takbir para petani Palestina mengiringi berlangsungnya pertempuran hebat yang tidak pernah mereka saksikan sebelumnya.
Dari jauh Saifuddin Quthuz dengan sabar dan tenang, mengamati dan mengontrol gerakan pasukannya. Kemudian mengisyaratkan untuk melakukan strategi mundur perlahan ke arah selatan 'Ain Jalut memancing pasukan Tartar Mongol ke tengah pasukan Islam yang bersembunyi di perbukitan yang mengelilingi medan 'Ain Jalut. Manuver ini terlaksana dengan baik. Pada waktu yang tepat manuver lainnya dilakukan, isyarat kepungan ditunjukkan oleh Saifuddin Quthuz sehingga pasukan Islam turun dari perbukitan lalu mengepung pasukan Tartar Mongol dari semua penjuru. Katbugha Noen terkejut dengan strategi pasukan Islam dan menyadari bahwa mereka telah dikepung di medan 'Ain Jalut. Tidak ada kesempatan untuk lari. Mereka harus bertempur dengan seluruh kekuatan yang mereka miliki meski semua gerakan mereka terlihat bebas oleh pasukan muslimin.
Sayap kanan pasukan Tartar sungguh kuat. Hampir saja sayap kiri pasukan muslimin dikuasai dan membalikkan kepungan. Saifuddin Quthuz mengamati pasukannya dan memerintahkan pasukan cadangan untuk membantu sayap kiri pasukan Islam. Namun tetap belum bisa mengimbangi kekuatan Pasukan Tartar Mongol. Saifuddin Quthuz melihat pasukan Islam gentar terhadapa pasukan Tartar, akhirnya Saifuddin Quthuz turun berperang bersama pasukannya. Dengan membuka perlengkapan perangnya ia memacu kuda dan berteriak "wa islamah, wa islamah", langsung menerobos pasukan musuh tanpa ada keraguan dan berpikir panjang dengan masa mudanya yang masih panjang. Ia memberi pelajaran berharga kepada semua kaum muslimin agar mencari syahid dan tidak gentar terhadap musuh. Hal ini menambah semangat dan mental pasukan muslimin untuk mencari syahid fi sabilillah.
Akhirnya pasukan Islam dapat mengalahkan pasukan Tartar Mongol di bawah kepemimpinan Saifuddin Quthuz. Kitbugha Noen tewas diantara tumpukan mayat tentara Tartar. Saifuddin Quthuz bersujud dan berkata: "Sekarang aku dapat tidur dengan tenang!".
Selanjutnya Baibars, bergerak menuju Damaskus dan dan Aleppo membersihkan sisa-sisa pasukan Tartar, membebaskan tawanan-tawanan muslim dan menghukum para pengkhianat nasrani yang membantu pasukan Tartar menghancurkan Damaskus.
Pasukan Hulagu yang dikirim untuk membalas kekalahan dari Bani Mamluk sebagian dihadang oleh pasukan Berke Khan, Khan Mongol yang menguasai wilayah Rusia dan Kaukasus yang sudah memeluk agama Islam dan bersekutu dengan Bani Mamluk dalam menghadapi serbuan balasan ini. Terjadilah perang saudara, yang terkenal dengan sebutan perang Berke-Hulagu yang berakhir dengan kekalahan telak dari pasukan Hulagu. Sebagian pasukan Hulagu lainnya yang berhasil sampai di Syria bertempur dengan pasukan muslim dari Bani Mamluk pimpinan Baibars dan berhasil dihancurkan juga.
Menurut sejarawan Rashid al-Din, pada saat kota Baghdad jatuh dan mendengar kekejaman Hulagu, sebenarnya Berke Khan sudah mengirim surat kritikan kepada Mongke atas kelakuan Hulagu tetapi dia tidak tahu bahwa Mongke sudah meninggal saat itu dalam perjalanan ke China. Banyak sejarawan mengatakan banyak jasa yang diberikan oleh Berke Khan sehingga menyelamatkan Timur Tengah dari pembalasan Hulagu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar