Bahkan, ilmu-ilmu dan ajaran yang terkandung dalam Al-Quran, sesuai dengan pandangan hidup umat manusia. Karena itu, tak heran, bila agama yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW ini, dengan mudah diterima oleh orang-orang yang senantiasa menggunakan akal pikirannya. Itulah yang dialami Dr. Murad Wilfried Hoffman, mantan Diplomat Jerman. Ia menerima agama Islam, disaat kariernya berada di puncak.
Dr. Wilfried Hoffman, dilahirkan dalam keluarga Katholik Jerman pada 3 Juli 1931. Dia adalah lulusan dari Union College di New York dan kemudian melengkapi namanya dengan gelar Doktor di bidang ilmu hukum dan yurisprodensi dari Universitas Munich, Jerman tahun 1957. Pada tahun 1983-1987, ia ditunjuk menjadi direktur informasi NATO di Brussels.
Jerman sangat mengenal Hoffman, karena setelah bertugas di NATO, ia diangkat menjadi duta besar Jerman untuk Aljazair tahun 1987 dan dubes di Maroko tahun 1990-1994. Karenanya, Jerman menjadi gempar ketika Hoffman menerbitkan buku yang berjudul Der Islam als Alternative (Islam sebagai Alternatif). Jerman terkejut, ternyata salah satu putra terbaiknya telah memeluk Islam.
Hoffman sebenarnya telah masuk Islam sejak lama, jauh sebelum bukunya dipublikasikan pada 1992. Dr Hoffman, menerima Islam pada 25 September 1980. Ia mengucapkan syahadat di Islamic Center Colonia yang dipimpin oleh Imam Muhammad Ahmad Rasoul. Ia masuk Islam jauh sebelum bertugas ke Aljazair dan Maroko. Bagaimana ia mendapatkan hidayah?
Saat itu, Hoffman sangat prihatin pada dunia barat yang mulai kehilangan moral. Agama yang dulu dianutnya dirasakannya tak mampu mengobati rasa kekecewaan dan keprihatinannya akan kondisi tersebut.
Hoffman juga memiliki sejumlah pertanyaan teologi yang belum terjawab, terutama mengenai dosa warisan. Ia juga tidak puas dengan jawaban mengapa tuhan memiliki anak dan harus pasrah disiksa hingga mati di kayu salib.
“Ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak punya kuasa,” tegasnya.
Hoffman bahkan sempat “meragukan” keberadaan Tuhan. Ia lalu melakukan analisa terhadap karya-karya filsuf seperti Wittgenstein, Pascal, Swinburn, dan Kant, hingga akhirnya ia dengan yakin menemukan bahwa Tuhan itu ada.
Jika Tuhan itu ada, bagaimana manusia berkomunikasi dengan-Nya? Hoffman menemukan, jawabannya adalah wahyu. Maka ia pun membandingkan berbagai “wahyu” yang ada. Setelah membandingkan kitab suci Yahudi, Kristen dan Islam itulah Hoffman mendapati Islam-lah yang secara tegas menolak dosa warisan. Ia juga mendapati, dalam Islam seseorang langsung berdoa kepada Allah, bukan melalui perantara atau tuhan-tuhan lainnya.
“Seorang Muslim hidup di dunia tanpa pendeta dan tanpa hierarki keagamaan; ketika berdoa, ia tidak berdoa melalui Yesus, Maria, atau orang-orang suci, tetapi langsung kepada Allah,” kata Hoffman.
Tauhid yang murni di dalam Islam itulah yang akhirnya membuat Hoffman memeluk Islam. Keyakinannya semakin kuat ketika ia bertugas di Aljazair dan melihat betapa umat Islam Aljazair begitu sabar, kuat dan tabah menghadapi berbagai macam ujian dan cobaan dari umat lain. Sangat bertolak belakang dengan kepribadian masyarakat Barat yang rapuh.
"Saya menyaksikan kesabaran dan ketahanan orang-orang Aljazair dalam menghadapi penderitaan ekstrem, mereka sangat disiplin dan menjalankan puasa selama bulan Ramadhan, rasa percaya diri mereka sangat tinggi akan kemenangan yang akan diraih. Saya sangat salut dan bangga dengan sikap mereka," ujarnya.
Ketika keislamannya diketahui publik pasca terbitnya buku Der Islam als Alternative, media massa dan masyarakat Jerman serentak mencerca dan menggugat Hoffman. Media massa sebesar Del Spigel pun turut mencercanya. Bahkan pada kesempatan berbeda, televisi Jerman men-shooting Hoffman saat ia sedang melaksanakan shalat di atas Sajadahnya, di kantor Duta Besar Jerman di Maroko, sambil dikomentari oleh sang reporter: "Apakah logis jika Jerman berubah menjadi Negara Islam yang tunduk terhadap hukum Tuhan?"
Hoffman tersenyum mendengar komentar sang reporter. "Jika aku telah berhasil mengemukakan sesuatu, maka sesuatu itu adalah suatu realitas yang pedih." Artinya, lelaki yang menambah namanya dengan “Murad” (yang dicari) ini, paham bahwa keislamannya akan membuat warga Jerman marah. Namun ia sadar, segela sesuatu harus ia hadapi apapun resikonya. Bagi Murad Wilfried Hoffman, demikian nama lengkapnya setelah menjadi Muslim, Islam adalah agama yang rasional dan maju.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat Jerman mulai “menerima” keislaman Hoffman. Sebagian mereka juga turut membaca karya-karya mualaf yang komitmen mendakwahkan Islam ini. Buku berikutnya yang ditulis Hoffman berjudul Trend Islam 2000. Selain menulis, Hoffman juga aktif dalam organisasi keislaman, seperti OKI. Ia terus menyampaikan pemikiran - pemikiran briliannya untuk kemajuan Islam.
Pada bulan September 2009, Hoffman dinobatkan sebagai Muslim Personality of The Year (Muslim Berkepribadian Tahun Ini), yang diselenggarakan oleh Dubai International Holy Quran Award (DIHQA). Penghargaan serupa pernah diberikan pada Syeikh Dr Yusuf al-Qardhawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar