Pada tahun 636 Masehi, Ketika itu musim dingin menyelimuti seluruh penjuru kota Yerusalem. Pasukan Muslimin di bawah perintah langsung Khalifah Umar bin Khattab sudah mengepung seluruh pinggiran kota. Tak tanggung-tanggung, Khalifah juga memerintahkan Abu Ubaidah, Khalid, dan Mu'awiyah yang telah berhasil menaklukan daratan Suriah dan pesisir Levantina, untuk bergabung dalam pengepungan besar itu.
Saat itu di tengah kota, tepatnya di dalam Gereja Makam Suci, panglima Artavon yang berkuasa waktu itu, bersama uskup agung gereja Yerusalem, Patriach Sophronius berdebat mengenai masa depan wilayahnya. Di antara mereka berdua berusaha mencari jalan yang terbaik, menyikapi pengepungan tentara Muslimin. Sang panglima menghendaki perang hingga tetes darah penghabisan melawan tentara Muslim. Meski kalah jumlah, dia tetap menjunjung tinggi harkat martabat dirinya, jadi menurutnya tidak masalah mati demi memperjuangkan Yerusalem.
Namun berbeda dengan sikap dan pendapat sang Panglima, uskup agung mempunyai pendapat lebih realistis dan berusaha bersikap bijaksana. Selain itu, sang uskup percaya jika kedatangan pasukan Muslim adalah penjelmaan dari kehendak Tuhan yang dikirimkan untuk mengakhiri dominasi kekuasaan Bizantium.
Karena perdebatan tidak menghasilkan kesepakatan, akhirnya para pembesar agama dan masyarakat di dalam gereja memutuskan mengadakan pemungutan suara dan hasilnya sebagian besar dari mereka menerima usulan uskup Sophronius. Mereka setuju jika Yerusalem diserahkan dengan jalan damai. Maka, salah seorang utusan dikirim untuk menemui pihak Islam di luar benteng.
Dalam nota perjanjian penyerahan Kota Yerusalem, Uskup bersama Artavon sepakat untuk menyerahkan seluruh isi kota kepada pasukan Muslimin dengan syarat, tidak ada pengangkatan senjata selama memasuki dan menduduki kota, mengizinkan sisa-sisa prajurit Bizantium meninggalkan kota dengan damai, dan penyerahan Yerusalem dapat diterima secara langsung oleh Khalifah Umar bin Khattab.
Abu Ubaidah yang menerima nota perjanjian itu, segera berangkat menyampaikan kabar gembira tersebut kepada Umar bin Khattab. Saat itu Umar sedang berada di Jabiyah, selatan Damaskus untuk menyelesaikan pengaturan administratif. Khalifah Umar menyanggupi permintaan dalam nota perjanjian, dan menjamin keselamatan warga Yerusalem. Sejak saat itu, Yerusalem resmi menjadi wilayah kekuasaan Islam.
Selama dalam kekuasaan Islam, warga Yerusalem hidup tenang dan damai, peraturan administratif yang ditetapkan Muslimin diterima tanpa timbul perdebatan. Setelah segala urusannya selesai Khalifah Umar bin Khattab merencanakan untuk mengunjungi Yerusalem untuk pertama kalinya. Kabar tersebut segera sampai ke telinga para penduduk Yerusalem, mereka bersuka cita dan menyiapkan segala keperluan untuk menyambut kedatangan Khalifah.
Namun pada hari yang telah ditetapkan, semua penduduk Yerusalem yang menyambut kedatangan Umar bin Khattab seketika terkejut. Mereka tidak bisa berkata-kata, tatkala pemimpin tertinggi kaum Muslimin itu datang tanpa iring-iringan mewah. Umar hanya datang sambil mengenakan pakaian lusuh penuh jahitan dengan budak setia yang telah dia merdekakan bernama Aslam. Sambil melangkah dan menuntun untanya, Umar bin Khatab berjalan di tengah-tengah masyarakatnya yang hanya diam menyaksikan kesederhanaan pemimpinnya.
"Lihatlah, sungguh ini adalah kesahajaan dan kegetiran yang telah dikabarkan oleh Danial sang Nabi ketika dia datang ke tempat ini," kata uskup Sophronius usai menyambut kedatangan Umar.
Kemudian, uskup menemani Umar berkeliling mengunjungi tempat-tempat suci di sepanjang kota Yerusalem hingga masuk waktu zuhur. Uskup Sophronius dengan cekatan segera menyilakan Khalifah Umar untuk masuk ke dalam sebuah gereja di tengah kota dan menghamparkan kain suci untuk alas shalat.
Namun tawaran shalat tersebut ditolak Umar. Dia khawatir perbuatannya akan ditiru umat Islam lainnya dan mengubah fungsi gereja menjadi masjid. Umar kemudian meminta uskup untuk mengantarkannya ke bekas reruntuhan kuil Sulaiman yang masih berada di dalam kota Yerusalem.
Setelah sampai di bekas reruntuhan, Umar mendapati tempat tersebut tidak menunjukkan bekas reruntuhan, hanya timbunan sampah kotor. Bersama sahabat-sahabatnya, Umar membersihkan tempat itu hingga bersih.
Untuk kemaslahatan bersama, akhirnya Umar memerintahkan membangun masjid yang terdiri dari bangunan kayu persegi, kelak dikenal dengan Masjid Umar. Dalam perkembangannya, Masjid Umar beberapa kali mengalami pemugaran hingga akhirnya menjadi bangunan dengan menara setinggi 15 meter seperti saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar