puing-puing gedung akibat perang Bosnia di Sarajevo |
Suatu kisah nyata yang ditulis oleh seorang gadis Bosnia. Zlata Filipovic lahir di Sarajevo, 3 Desember 1980, ia anak tunggal dari kedua orang tua asli Muslim Sarajevo. Ayah Zlata adalah seorang pengacara. Ibunya adalah ahli kimia. Sebelum terjadi serangan Kristen Serbia terhadap kaum Muslim Bosnia Herzegovina di bulan April 1992, keluarga Zlata adalah keluarga yang berkecukupan. Sebagai keluarga Muslim, keluarga Zlata, seperti juga keluarga Muslim lainnya di Bosnia sebelum perang tidak menampakkan identitas keislamannya secara menyolok. Yang perempuan tak memakai kerudung dan yang laki-laki tidak berpakaian seperti orang muslim. Mereka berpenampilan dan berperilaku menyerupai ataupun mirip seperti warga Eropa umumnya, setelah itu barulah di paling akhir identitas, mereka adalah Muslim.
Bosnia sebelum perang adalah negeri yang sangat damai dimana kehidupan berjalan tenang dan tenteram. Meskipun mayoritas Muslim, banyak dari orang dewasa Bosnia tidak mengerjakan sholat.
Gadis-gadisnya juga biasa pergi ke diskotik dan bar. Tidak ada hal yang mencolok antara Muslim dan non Muslim.
Gadis-gadisnya juga biasa pergi ke diskotik dan bar. Tidak ada hal yang mencolok antara Muslim dan non Muslim.
Ketika Natal, hampir seluruh warga Bosnia merayakannya. Tak peduli Muslim atau bukan. Ketika Hari Raya Idul Fitri pun demikian. Anak-anak Bosnia terbiasa dengan momen-momen barat seperti valentine, April mop, tahun baru, halloween dan sejenisnya sebelum terjadinya perang. Itulah potret dari keluarga-keluarga Bosnia kebanyakan. Di Indonesia, keluarga seperti itu biasa disebut keluarga sekuler atau Islam KTP.
Namun keislaman sudah jadi cukup alasan warga Muslim Bosnia untuk dihabisi dan dibantai. Kebencian yang begitu besar di dada pemimpin-pemimpin kristen Serbia, sepanjang tahun mereka menanti-nantikan saat yang tepat menyerang Muslim Bosnia. Walaupun orang-orang muslim "sekuler" itu ikut-ikutan merayakan berbagai hari raya umat Kristen atas nama toleransi dan kerukunan antar umat beragama.
Dibawah pimpinan Slobodan Milosevic, seorang pemimpin fasis yang lebih kejam dari Adolf Hitler melancarkan perang besar-besaran demi mewujudkan ambisi gilanya mendirikan Serbia Raya. Dengan amat bernafsu, Milosevic memerintahkan tentaranya untuk menghabisi Muslim Bosnia secara genosida dengan cara apapun, termasuk pemerkosaan sistematis. Muslim Bosnia yang tadinya tidak begitu mempedulikan nilai-nilai Islam terhenyak kaget bukan kepalang. Teman, saudara dan anggota keluarga yang beragama lain yang tadinya akrab, natalan bersama, valentinan bersama dan sebagainya kini berbalik menyerang dan membunuhi mereka. Alasannya hanya satu : karena mereka Muslim, seolah-olah Muslim adalah dosa yang tak terampuni dan harus di basmi.
Orang-orang Bosnia dengan cepat mereka sadar pada kondisi yang sedemikian terlambat, bahwa mereka adalah Muslim. Pembersihan etnis Muslim Bosnia membuat mereka kembali kepada nilai-nilai Islam yang hakiki.
Beruntunglah mereka yang segera sadar, kasihan dan celakalah mereka yang telah terbunuh dalam kondisi menyerupai kaum kafir, mereka akan dihukumi sebagaimana orang kafir (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031).
Ditengah-tengah puing bangunan yang hancur, desingan peluru yang menggema dan ledakan mortir, dan kepiluan tangisan korban pemerkosaan. Muslim Bosnia kembali mendekap erat identitas nenek moyang mereka selama ini. Yang perempuan kembali menggunakan kerudung dan para lelaki sambil menenteng senjata untuk bertahan dan mulai kembali sholat, adzan mulai bergema di sela-sela gedung yang roboh. Kitab suci Alquran yang telah lama tersimpan di lemari-lemari dibuka kembali.
Nermina Jasarevic, aktivis relief international Bosnia berkeliling ke negara-negara Muslim guna menggalang solidaritas Bosnia menyatakan, " berpuluh-puluh tahun kami hidup berdampingan dengan saudara-saudara kami yang berlainan agama, kami sangat toleran tapi kebaikan kami dibalas begitu pahit, mudah-mudahan ini jadi pelajaran bagi kami untuk tidak pernah meninggalkan islam". Dengan sedih yang mendalam, Muslimah Bosnia itu berpesan ," Semoga apa yang kami alami, tidak terjadi oleh bangsa-bangsa muslim lainnya. Biarlah bosnia menjadi hikmah bagi kita semua." Demikianlah sejarah yang hampir sama sebagaimana Islam bisa dihabisi di negara Islam Spanyol (Andalusia).
Dari kisah diatas kita tahu bagaimana keadaan sekeliling kita di Indonesia yang mayoritas muslim, hendaknya kita saling mengingatkan apabila ada saudara/saudari kita yang mulai jauh dari keislamannya untuk bertaubat, karena hal itulah yang menjadi awal dari musibah yang mengerikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar